Terlepas dari perbedaan sistem, manajemen maupun anggaran pendidikan yang dimiliki, satu hal yang sama diantara negara-negara yang dijadikan rujukan karena hasil pendidikannya adalah mutu guru. Kualitas guru di negara-negara rujukan tersebut berbanding lurus dengan mutu pendidikannya. Artinya untuk meningkatkan mutu pendidikan maka peningkatan kualitas guru adalah suatu keniscayaan. Salah satu upaya peningkatan kualitas guru yang "fenomenal" dan belum pernah dilakukan dalam sejarah pendidikan Indonesia adalah pemberian tunjangan sertifikasi guru. Sederhananya, pemberian tunjangan sertifikasi oleh pemerintah kepada guru mirip pelanggan yang membeli mobil baru. Seorang ingin membeli mobil baru karena menganggap spesifikasi mobil lamanya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan atau keinginannya. Demikian juga pemerintah mengganggap bahwa kualifikasi, kompetensi, keterampilan dan sikap yang ada sudah tidak sesuai dengan kebutuhan sekarang dan yang akan datang. Dengan pemberian tunjangan sertifikasi, pemerintah ingin "membeli guru baru" -guru dengan kualitas pengajaran yang terbarukan.
Pemberian tunjangan sertifikasi guru adalah upaya besar dengan biaya besar yang menurut laporan nilainya mencapai Rp 25 triliun setiap tahunnya. Namun, "Kenaikan tunjangan guru, are these really improving the quality of teaching? tanya menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (Detik, Kamis 23 Februari 2017). Jawaban pertanyaan ini dapat ditemukan dalam laporan Bank Dunia tentang serttifikasi guru di Indonesia (Teacher certification and beyond: An empirical evaluation of the teacher certification program and education) dan konklusi pertama dari laporan ini menyatakan bahwa "Paying teachers more does not make them teach better". Artinya, pemberian tunjangan sertifikasi guru selama ini tidak sesuai dengan keinginan pemerintah seperti yang diuraikan di atas. Ada beberapa factor penyebabnya namun jika ditilik lebih dalam maka satu factor yang dominan adalah inefektivitas usaha peningkatan keprofesian/kompetensi guru (diklat, workshop, upgrading, seminar) atau yang sekarang dilabel dengan kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) serta sikap dan perilaku belajar guru dalam program/kegiatan tersebut.
Adey, Hewitt dan Landau (2004) mencatat bahwa sejak program diklat guru pertama digulirkan di awal tahun 1970an, program PKB di Indonesia umumnya dilakukan dengan model imbas atau berantai (cascade model). Guru di daerah dipilih untuk dilatih ditingkat nasional yang kemudian menjadi guru inti atau instruktur nasional. Guru inti atau instruktur nasional kemudian kembali ke daerah dan sekolah masing-masing untuk mengimbaskan ke guru-guru yang lain. Model ini banyak dikritis karena melahirkan budaya 'tunduk patuh' (culture of compliance) pada otoritas. Menurut Hargreaves (2003) budaya tunduk patuh ini dicirikan dengan kepatuhan absolut terhadap tuntutan ataupun perintah otoritas di atas guru. Perwujudan budaya tunduk patuh dalam konteks PKB model cascade ini bisa dilihat dari perilaku 3D (duduk, diam dan dengar) guru ketika mengikuti pelatihan.
Laporan Bank Dunia (2010 dan 2014) menyebutkan bahwa program atau kegiatan PKB untuk peningkatan kompetensi guru di Indonesia tidak berkesinambungan, terpotong-potong serta "satu untuk semua". Mayoritas guru mendapatkan pelatihan hanya ketika suatu program nasional dicanangkan atau terjadi pergantian kurikulum. Sebagian besar guru yang lain mendapatkan kesempatan mengikuti PKB setelah sekian puluh tahun mengajar atau selesai dari pendidikan keguruannya. Bahkan untuk sekelompok guru (terpencil, terluar dan tertinggal) akses untuk kegiatan PKB sangat terbatas, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Program atau kegiatan PKB juga umumnya bersifat satu untuk semua yaitu satu macam kegiatan dan materi pelatihan untuk semua tingkatan, jenis dan kemampuan guru. Bagi kebanyakan guru, program PKB semacam ini tidak lebih dari sekedar "proyek" yang wajib dilaksanakan terlepas hasil atau dampak terhadap kompetensi guru. Singkatnya, program-program PKB yang ada selama ini hanya menjadi kegiatan ataupun proses yang insidentil dan apa adanya sehingga hasil yang diharapkan yakni pengembangan kompetensi guru yang berujung pada peningkatan proses dan hasil belajar siswa jauh dari yang diharapkan.
Bagaimana sikap dan perilaku belajar guru dalam program/kegiatan PKB? Umumnya, guru adalah pembelajar pasif, penunggu undangan pelatihan. Pun ketika terlibat di kegiatan-kegiatan PKB, niat ataupun tujuan keikutsertaan mereka kebanyakan untuk mendapatkan sertifikat dalam rangka pemenuhan persyaratan jabatan, kualifikasi atau sertifikasi. Partisipasi guru dalam kegiatan PKB sekedar menjadi rutinitas menggugurkan kewajiban. Tujuan dan makna belajar dalam kasus-kasus "belajar" seperti ini tereduksi, menjadi tidak bermakna dan kurang berdampak bagi peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini bisa dirasakan dengan keluhan para kepala sekolah terhadap guru-guru yang sudah sering mengikuti diklat tetapi kualitas dan performa mengajar mereka 'masih seperti yang dulu' bahkan untuk guru yang telah dianggap 'profesional' dengan sertifikat kelulusan sertifikasi yang dimilikinya.
Berkaca dari realitas yang ada, tidak mengherankan kalau sampai detik ini pemerintah dengan tunjangan sertifikasinya belum mampu membeli guru baru. Namun yang jelas para guru yang mendapatkan tunjangan sudah mampu membeli mobil baru. Salah satu rekomendasi untuk memperbaiki kondisi ini adalah perubahan pada sistem dan tata kelola PKB dan pada sikap dan perilaku belajar guru. PKB mesti dilihat sebagai suatu usaha dan proses yang intensional, berkelanjutan dan sistematis sehingga PKB bukan hanya sekedar penggalan-penggalan proyek. Guru pembelajar perlu ditumbuhkan, difasilitasi dan dikembangkan sebagai suatu sebagai sebuah karakter kunci pengembangan profesi guru.