Artikel

SEKOLAHKU SAYANG, SEKOLAHKU MALANG

Oleh Abdul Rahman

Analis Data Pemetaan LPMP Sulawesi Selatan

Presiden Bill Clinton pernah berucap bahwa jika ingin berinvestasi untuk kemakmuran bangsa/negara maka berinvestasilah pada pendidikan anak-anak penerus bangsa sehingga potensi dan bakat mereka bisa dimanfaatkan untuk kejayaan bangsa di kemudian hari. Melihat perkembangan dan kenaikan anggaran pendidikan di Indonesia dari waktu ke waktu maka semua pihak patut berharap bahwa Indonesia akan menjadi bangsa dan negara yang makmur.  

Era 1970-an sampai dengan 1980-an adalah periode ekpansi besar-besaran untuk menjadikan pendidikan dengan program wajib belajar sebagai ujung tombak pembangunan. Ditopang oleh tingginya pendapatan dari harga minyak bumi, ribuan sekolah dasar dibangun melalu instruksi presiden (Inpres), iuran sekolah dihapus, serta ratusan guru diangkat untuk mengajar di sekolah-sekolah tersebut. Hasilnya, diawal periode Pembangunan Jangka Panjang  (PJP 1, 1969/70 – 1994/95) angka partisipasi sekolah dasar mengalami lonjakan yang sangat fantastis, di atas 100% dalam kurun waktu 25 tahun.

Di era reformasi, investasi pendidikan makin ditingkatkan. Anggaran pendidikan oleh undang-undang dimandatkan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Menurut data tahun 2016, anggaran pendidikan dalam APBN 2016 mencetak sejarah yaitu mencapai Rp 419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja negara Rp 2095,7 triliun. Nilai tersebut termasuk jumlah yang dibayarkan untuk sertifikasi guru yang merupakan investasi besar-besaran pemerintah dalam peningkatkan kompetensi guru dalam upaya meningkatkan kualitas dan hasil belajar anak-anak penerus bangsa di sekolah. Semua upaya-upaya tersebut adalah menunjukkan “sayang” pemerintah terhadap sekolah.

Namun alangkah malangnya nasib sekolah ketika mendengar seorang teman yang berujar bahwa jika ingin membuat seorang anak yang kritis dan banyak bertanya menjadi seorang “penurut” maka masukkanlah ke sekolah. Miris mendengar sekolah yang sejatinya adalah lahan persemaian dan pengembangan bakat dan potensi peserta pendidik malah menjadi tempat yang mematikan potensi-potensi para penerus bangsa. Belum lagi laporan dari lembaga-lembaga internasional yang menyebutkan lemah dan rendahya kemampuan dan hasil belajar anak-anak yang ada di bangku sekolah dari semua jenjang dan jenis pendidikan. Apa yang salah dengan sekolah? Pertanyaan sederhana ini yang coba dijawab oleh penulis.

Pada era orde baru perhatian pemerintah adalah bagaimana mencoba mengejar ketertinggalan pembangunan dan perekenomian. Olehnya itu, prioritas pemerintah lebih kepada menaikkan angka-angka atau peringkat pencapaian indikator pembangunan ataupun ekonomi seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan yang semacamnya. Tidak mengherankan jika, khusus di pendidikan, fokus dititikberatkan kepada bagaimana menyiapkan infrastruktur pendidikan dalam hal ini ketersediaan jumlah sekolah. Bahasa sederhananya mungkin pada waktu itu yang penting anak-anak masuk sekolah dulu. Hasilnya, program wajib belajar 6 tahun tercatat sebagai suatu program pendidikan yang sukses di mata dunia.  Pendekatan ini terbukti mampu meningkatkan posisi atau indeks daya saing manusia Indonesia sehingga Indonesia pernah dijuluki sebagai macan Asia karena pertumbuhan ekonominya (GDP) yang sangat mengesangkan, 7-8% setahun.  Di era ini, peserta didik di sekolah lebih banyak dipandang sebagai angka-angka untuk dimasukkan ke dalam rumus pencapaian indeks-indeks tertentu.

Di era refomasi, akuntabilitas dari penyelenggara pendidikan di sekolah dengan ukuran pemenuhan standard-standard adalah pendekatan yang pakai oleh pemerintah untuk peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan. Dengan kucuran anggaran yang besar, pemerintah ingin meyakinkan bahwa setiap sen penggunaan anggaran ada hasilnya (value for money). Semua komponen pendidikan dibuatkan standard dan sasaran kinerja. Mutu setiap pelaku pendidikan dinilai berdasarkan capaiannya terhadap standard dan sasaran  tersebut. Jadilah sekolah dan seluruh warga sekolah berkejaran dengan indikator-indikator pemenuhan standar yang pada umumnya lebih banyak  berkutat pada pemenuhan persyaratan teknis administratif. Sehingga pada banyak kasus apa yang tertulis di atas kertas tidak sebaik realitasnya. Misalnya, banyak sekolah yang tercatat sebagai sekolah berakreditasi sangat baik namun pengalaman, kualitas dan hasil belajar peserta didiknya di sekolah jauh dari label yang disemat oleh sekolah-sekolah tersebut. Pada kondisi ini, pemenuhan persyaratan teknis administratif mengaburkan esensi dan subtansi dari tugas-fungsi sekolah. 

Penulis tidak mengatakan bahwa pendekatan-pendekatan yang telah diambil salah, malah mungkin pendekatan tersebutlah yang tepat pada masa dan konteksnya. Namun yang jelas pendekatan-pendekatan tersebut masih belum menjawab dan memenuhi substansi dari tugas dan fungsi hakiki dari sekolah. Agar investasi pendidikan yang sedemikian besar mampu menumbuhkan dan melejitkan potensi dari anak-anak penerus bangsa yang akan membawa kejayaan dan kemakmuran maka telah tiba saatnya semua pemangku kepentingan berpikir dan bertindak kepada hal-hal yang substantif tentang sekolah. Satu pertanyaan sederhana yang setiap saat mesti diajukan dan dijawab oleh setiap insan pendidikan di setiap level, dari presiden, menteri sampai dengan guru-guru di sekolah, ketika ingin bertindak adalah, “Apa yang didapat oleh anak didik?” Hanya jika pelaku bisa yakin bahwa tindakannya (kebijakan, kurikulum, standar, metode ataupun materi pembelajaran), mampu menumbuh-kembangkan potensi dan bakat anak-anak di sekolah maka kita akan mendapatkan generasi unggul penyokong kemakmuran bangsa.