Artikel

Pelatihan Sosial Kultural: Mengunjungi Sanggar Anak Alam di D.I. Yogyakarta

Salah satu materi yang kami terima pada kegiatan Pelatihan Teknis Sosial Kultural adalah Kebhinekaan dalam Perspektif Kebudayaan. Sehingga pada hari Kamis tanggal 1 September 2022, para peserta diarahkan untuk mengunjungi tempat-tempat yang mencerminkan keberagaman dalam budaya di wilayah Yogyakarta. Untuk angkatan 4, lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Sanggar Anak Alam, dimana lokasi ini merupakan sebuah sekolah  yang mengedepankan kebhinekaan dalam belajar.

Bus berangkat dari kampus BBGP D.I. Yogyakarta sekitar pukul 7.30 WIB dan tiba sekitar pukul 8.40 WIB di Sanggar Anak Alam. Kesan pertama yang muncul ketika memijakkan kaki di lokasi adalah keindahan alam yang asri dan menenangkan. Jalan menuju sanggar hanya merupakan jalan setapak, namun terasa istimewa karena kita dapat menikmati pemandangan sawah yang hijau nan indah. Masuk ke lingkungan sanggar terlihat beberapa bangunan ruang kelas, tempat bermain dan halaman yang luas. Peserta kunjungan diterima dengan hangat oleh Bapak Budi Santosa sebagai fasillitator dan Ibu Sri Wahyaningsih sebagai pendiri di Sanggar Anak Alam di salah satu ruang belajar Sanggar Anak Alam.

Selanjutnya, kegiatan belajar dimulai dengan rangkaian pembukaan oleh Bapak Budi, arahan dari panitia, dan sambutan oleh Ibu Wahya serta doa bersama seluruh hadirin. Setelah pembukaan, peserta diajak untuk melakukan “pemanasan” dengan permainan tepuk tangan berirama yang meskipun dilakukan dengan tepukan berbeda antar kelompok namun dapat menunjukan harmoni dalam kebhinekaan, kolaborasi dan kerjasama. Kemudian dilanjutkan dengan paparan oleh Bapak Budi dan Ibu Wahya.

Sanggar Anak Alam diperkenalkan dengan sebuah kalimat “sekolah tanpa seragam, tanpa guru dan tanpa mata pelajaran”. Tanpa seragam sekolah dimaksudkan agar siswa dapat menggunakan pakaian yang mereka miliki dengan bebas, bahkan sebagian  besar dari anak di Salam hanya menggunakan sandal. Tanpa guru karena dalam kelas didampingi oleh fasilitator yang tujuan lebih untuk memfasilitasi dan mendokumentasikan kegiatan siswa, bukan merupakan narasumber satu arah. Tanpa mata pelajaran karena pendekatan pembelajaran di Salam adalah dengan riset, setiap anak dapat milih riset sesuai dengan minat mereka, tujuannya adalah agar anak dapat merancang apa yang mereka inginkan, menajamkan pikiran, dan menghaluskan perasaan anak. Ada empat pilar yang dikuatkan di Salam yakni pangan, sosial budaya, kesehatan dan lingkungan hidup. Keempat pilar ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pendidikan di Salam sangat mengedepankan kebutuhan anak dengan diperkuat oleh sentra pendidikan yakni fasilitator, orang tua dan masyarakat. Sebelum anak bersekolah di sini, orang tua terlebih dahulu diwawancarai terkait kesiapan mereka dalam mendukung ekosistem belajar di Salam. Setiap orang tua akan mengikuti minimal 3 workshop dalam setahun agar dapat bersinergi dengan sekolah. Setiap bulan ada kunjungan ke salah satu rumah siswa untuk belajar, yang tentu saja perang orang tua sangat penting di sini. Di sisi lain masyarakat sekitar juga merupakan salah satu yang disentuh oleh Salam. Contohnya bekerja sama dengan kelompok tani yang ada di sekitar sekolah dalam menjaga lingkungan.

Dari seluruh rangkaian belajar di Salam, maka sekolah menyimpulkan bahwa yang merupakan input dalam proses pendidikan di Salam adalah murid, orang tua, penyelenggara sekolah dan masyarakat. Selain itu ada input yang dapat dikendalikasikan oleh pihak sekolah yakni intrumental input dan input yang diluar kendali sekolah yakni enviromental input. Dengan harapan keluaran adalah terjadinya ekosistem atau komunitas belajar.

Dalam menjalankan proses pendidikannya ada 4 prinsip yang dipegang oleh Salam yaitu pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang kontekstual dengan lingkungan sosial, dan pendidikan yang selaras dengan alam. Pendidikan yang memerdekakan di sini dijelaskan oleh Ibu Wahya, adalah tidak terperintah, mandiri dan cakap mengatur hidupnya sendiri. Pendidikan yang memanusiakan manusia, dimaksudkan murid dapat belajar sesuai dengan minatnya, tidak seragam dan tidak terpaksa dalam mempelajari sebuah pelajaran. Pendidikan yang kontekstual dengan lingkungan sosial, diharapkan dapat mengkolaborasikan antara apa yang dipelajari dengan lingkungan dan murid sejak dini dapat berperan dalam masyarakat. Pendidikan yang selaras dengan alam, yaitu mempersiapkan murid dalam menghadapi kehidupan mereka sesuai dengan kodisi alam yang ada di sekitar mereka, misalnya di sekitar Salam merupakan daerah yang rawan dengan letusan gunung merapi, maka sekolah dapat memberikan arahan bagaimana menghadapi situasi ketika terjadi letusan. Paparan ini merupakan paparan terakhir untuk sesi pertama.

Sesi kedua diawali kembali permainan tepuk tangan berirama yang kembali dipimpin oleh Bapak Budi. Pada sesi kedua, Bapak Budi dan Ibu Wahya memaparkan sistem atau cara sekolah mengimplementasikan prinsip-prinsip Salam. Sejak awal, anak diajarkan untuk merencanakan pembelajarannya, mulai dari merumuskan riset, mencari tujuan riset, hingga evaluasi dari proses belajarnya. Salah satu contoh yang disampaikan oleh Bapak Budi adalah pengalaman anaknya sendiri yang sangat senang bermain gitar, ternyata dari gitar anak Bapak Budi dapat mempelajari frekuensi yang kita ketahui secara umum adalah pelajaran fisika. Dari sesi kedua ini, peserta mendapatkan informasi yang sangat beragam terkait kegiatan-kegiatan, karya dan riset-riset oleh siswa di Salam.

Kesimpulan akhir yang dapat kami petik, bahwa kebhinekaan dari perpektif kebudayaan dalam hal ini yang dilakukan oleh Tim Sanggar Anak Alam melalui pendidikan, merupakan sebuah proses pembangunan pondasi untuk anak dalam melestarikan keberadaan anak itu sendiri dengan mengajarkan lebih dini lingkungan sosial, budaya dan alam sehingga akan berimbas pada siklus hidup di lingkungan sekitarnya.