Orang tua murid seringkali merasa keki dengan sikap anak mereka yang lebih mendengar atau menurut dengan guru-guru mereka dibandingkan mereka sendiri. Ketika orang tua membantu sang anak mengerjakan tugas dari sekolah kemudian memberikan solusi, cara atau jawaban yang meskipun benar tetapi tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh guru menurut sang anak, maka umumnya anak akan protes, menolak atau bahkan menganggap solusi, cara atau jawaban tersebut salah. Guru bagi sang anak adalah sosok yang harus digugu dan ditiru. Olehnya itu tidak berlebihan jika Michael Fullan, seorang peneliti dan penulis buku seminar tentang reformasi pendidikan, menyatakan bahwa perubahan pendidikan bergantung pada apa yang dipikir dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, sesederhana atau sekompleks apapun perubahan pendidikan yang ingin diraih, pikiran dan perilaku guru sangat berpengaruh.
Pikiran dan perilaku guru terwujud melalui praktek-praktek instruksional guru di kelas atau sekolah. Praktek-praktek instruksional yang ada telah banyak membantu murid-murid melejitkan dan menggapai potensi dan cita-cita mereka, namun masih banyak juga praktek-praktek instruksional guru yang malah mematikan bakat, minat dan kemampuan siswa. Mereka adalah para guru yang "mematikan". Bagaimana praktek-praktek guru mematikan ini? Berikut ini dua diantaranya.
Mereka meminta siswa menyalin dan menyalin. Masih jamak terjadi di kelas, siswa diminta menyalin materi, tugas atau pekerjaan baik dari papan tulis- seorang siswa diminta menulis di papan tulis dan siswa yang lainnya mencatat di buku tulis masing-masing ataupun dari buku paket siswa sendiri. Ini adalah praktek puluhan tahun lalu ketika sumber dan bahan belajar (buku, LKS dll) masih sangat terbatas. Namun dengan fasilitas dan kemudahan yang ada sekarang ini, guru dan siswa dapat mengakses sumber dan bahan belajar melalui berbagai moda. Ironisnya lagi, kegiatan menyalin ini lebih sering tanpa disertai dengan kegiatan belajar yang bermakna (bertanya, berdiskusi, merefleksi dsb). Kegiatan menyalin ini sering sekedar menjadi aktivitas menghabiskan jam pelajaran atau membuat siswa "sibuk". Praktek semacam ini mematikan minat belajar siswa. Belajar tereduksi menjadi kegiatan yang melelahkan, menjemukan dan tanpa arti. Siswa banyak menyalin tetapi minim belajar. Belajar yang sejatinya menumbuhkan dan mengembangkan rasa ingin tahu siswa, sehingga mereka senang belajar, mati dan pupus karena belajar menjadi kegiatan rutinas tanpa makna.
Mereka menuntut siswa mencapai nilai tinggi. Ini bukan berarti bahwa pencapaian nilai tinggi tidak penting tetapi nilai tinggi bukan tujuan akhir dari belajar atau pendidikan. Agar siswanya bisa mencapai nilai tinggi beberapa cara diterapkan oleh guru. Ada yang memberi tambahan tugas atau pekerjaan rumah. Yang lainnya memberikan kursus diluar jam sekolah. Tujuannya agar siswa berlatih (drill) materi yang nantinya akan diujikan sehingga mereka dapat mencapai nilai yang tinggi. Belajar dengan cara seperti ini cenderung teknikal-pragmatis. Siswa lebih banyak menghapal informasi, fakta, formula ataupun rumus-rumus yang sedemikian rupa telah dipilah dan dipilih sesuai dengan prediksi materi atau soal yang nantinya diujikan. Tragisnya lagi, pada beberapa kasus, siswa akan mendapatkan nilai tinggi karena keikutsertaannya di kursus gurunya ataupun karena diberi kunci jawaban oleh guru bersangkutan. Praktek-praktek semacam ini bukan hanya mendegradasi pengalaman belajar siswa tetapi juga mematikan kemampuan berpikir kritis, analatik dan komperehensif siswa. Siswa banyak menghapal atau mengetahui infromasi tetapi miskin pemahaman dan aplikasi atas pengetahuannya. Untuk bisa bersaing diera ekonomi modern, menurut Organisation for Economic Co-operation dan Development (OECD) yang terkenal dengan Programme for International Student Assessment (PISA) program, yang dibutuhkan bukan hanya individu yang banyak tahu tetapi mereka yang bisa berbuat/mengaplikasikan apa yang mereka ketahui dan item yang ada di PISA menitikberatkan pada indikator ini. Tidak mengherankan jika posisi siswa Indonesia dalam PISA selalu terpuruk dibandingkan dengan siswa dari negara-negara lain yang berpatisipasi dalam PISA karena lemah pemahaman dan aplikasi.
Guru-guru yang mematikan ini menjadi batu sandung bagi misi mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif dengan berkeadilan, bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat global. Bahasa kekiniannya, mereka adalah para guru yang gagal move-on –yang mendidik dan mengajar masih dengan cara-cara lama, yang itu-itu saja, dan ketinggalan zaman. Mereka masih menggunakan praktek-praktek tersebut dikarenakan pikiran dan perilaku yang tidak diperluas (extension), tidak ditingkatkan (growth) dan tidak dibarukan (renewal). Hal ini terjadi karena guru yang demikian kurang atau tidak mawas profesi. Secara sederhana mawas profesi bisa diartikan sebagai usaha untuk memeriksa atau mengetahui benar tidaknya suatu perilaku sesuai dengan tanggung jawab profesi yang diemban. Sehingga guru yang mawas profesi adalah guru yang senantiasa belajar mengetahui (learn) dan belajar meninggalkan (unlearn) praktek-praktek yang relevan atau tidak relevan dengan tuntutan dan kebutuhan siswa. Guru mesti sadar bahwa profesi guru adalah profesi yang menuntut individu pelakunya menjadi pelajar sepanjang hayat karena klien mereka, sang murid, berkembang dan berubah secara aktif dan dinamis.
Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Kutipan ini sangat tepat dan relevan bagi para guru karena para siswa yang ada di sekolah/kelas mereka sejatinya adalah anak-anak mereka yang akan hidup dengan masalah, tantangan dan tuntutan yang berbeda. Guru sebagai suatu profesi harus mawas dengan realitas ini agar mampu menjadi guru yang menghidupkan bakat, minat dan kemampuan siswanya.
Dr. Abdul Rahman