Pendahuluan
Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 menegaskan bahwa setiap satuan pendidikan formal maupun non formal wajib melakukan penjaminan mutu. Secara rinci, penjaminan mutu di jenjang pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) diatur dalam Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. Sistem ini berfungsi untuk mengendalikan proses penyelenggaraan pendidikan oleh satuan pendidikan agar sesuai ketentuan standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Sistem penjaminan mutu yang dilaksanakan di internal satuan pendidikan disebut Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Keberhasilan pelaksanaan SPMI di
satuan pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat pemahaman dan komitmen TPMPS.
Pemahaman dan komitmen TPMPS tersebut harus ditunjang dengan
pembekalan/pelatihan dan pendampingan yang baik. Sulaeman Ibrahim (2018)
mengatakan bahwa pelatihan dan pendampingan SPMI secara signifikan mempengaruhi
pencapaian SNP di satuan pendidikan, sedangkan untuk meningkatkan capaian SNP
tersebut maka satuan pendidikan harus menerapkan SPMI secara konsisten dan didukung
oleh kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan
tersebut.
Muhammad
Aris (2019) menjelaskan beberapa faktor penunjang keberhasilan dalam
melaksanakan SPMI yaitu pemberian pendidikan dan pelatihan bagi warga sekolah
khususnya TPMPS dalam memahamahi konsep dan teknik pelaksanaan SPMI. Faktor
penunjang lainnya adalah komunikasi yang baik di internal sekolah maupun
terhadap eksternal seperti komite sekolah, pengawas sekolah, dinas pendidikan,
LPMP, dan masyarakat. Sedangkan salah satu faktor penghambat pelaksanaan SPMI
menurut Muhammad Aris (2019) adalah kurangnya pendampingan dan koordinasi
sehingga hal tersebut menimbulkan masalah ketika dalam melakukan SPMI menemui kesulitan.
Tingkat pemahaman TPMPS sangat
dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan kemampuan fasilitator maupun pengawas
dalam melakukan sosialisasi dan pelatihan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Takako SUZUKI (2008) bahwa kelemahan utama dari model pelatihan bertingkat ini adalah
kemungkinan terjadinya distorsi informasi dalam pelaksanaan pelatihan. Kesalahan atau kekurangan informasi
pada salah satu tingkat pelatihan, maka akan berdampak signifikan terhadap
pelatihan tingkat setelahnya.
Petunjuk Teknis SPMI (Dirjen
Dikdasmen, 2017) menjadi rujukan utama dalam melakukan sosialisasi dan
pelatihan SPMI yang dilakukan secara bertingkat mulai dari tingkat
nasional sampai kepada tingkat satuan pendidikan. Pelatihan dimulai dengan
kegiatan pelatihan kepada Fasilitator Nasional (Fasnas) oleh Tim Satuan Tugas
(Satgas) Penjaminan Mutu Pendidikan (PMP) Ditjen Dikdasmen. Fasnas terdiri dari
4 orang yang berasal pejabat struktural dan widyaiswara di setiap LPMP. Tahapan
pelatihan berikutnya, Fasnas melatih Fasilitator Daerah (Fasda) yang terdiri
atas 4 orang pengawas satuan pendidikan dari setiap kabupaten/kota dan
provinsi. Pelatihan berikutnya dilakukan oleh Fasda kepada TPMPS dari satuan
pendidikan yang menjadi sekolah model percontohan penerapan SPMI yang ditunjuk
dan dipilih oleh Dinas Pendidikan kab/kota/provinsi masing-masing. Tahapan
proses pelatihan berikutnya adalah pelatihan kepada TPMPS non sekolah model
oleh TPMPS sekolah model dalam bentuk pengimbasan (Dirjen Dikdasmen, 2017).
Besarnya
jumlah satuan pendidikan dan PTK di Sulawesi Selatan menjadi salah satu
tantangan dalam melaksanakan program SPMI ini. Demikian juga dengan kompetensi
SDM yang terlibat dalam menyebarluaskan dan melakukan fasilitasi pelaksanaan
SPMI ini, mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan
pendidikan. Oleh karena itu, melihat pentingnya masalah ini dan besarnya
tantangan dalam melaksanakannya, peneliti melakukan kajian terhadap pelaksanaan
fasilitasi sosialisasi dan pelatihan SPMI serta tingkat pemahaman PTK di satuan
pendidikan sebagai pelaksana SPMI.
Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penetian ini adalah bagaimana bentuk dan efektifitas dari pelatihan ber tingkat yang telah dilaksanakan dalam sosialisasi dan pelatihan SPMI, tingkat pemahaman sasaran pelatihan setelah mengikuti pelatihan, permasalahan serta kendala dalam yang dihadapi dalam mengikuti pelatihan, dan bagaimana rekomendasi model pelatihan yang dapat mengantisipasi masalah dan kendala yang muncul pada pendekatan yang digunakan sebelumnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan efektifitas dari pelatihan bertingkat yang telah dilaksanakan dalam sosialisasi dan pelatihan SPMI, tingkat pemahaman sasaran pelatihan setelah mengikuti pelatihan, permasalahan serta kendala dalam yang dihadapi dalam mengikuti pelatihan, dan untuk menghasilkan rekomendasi model pelatihan yang dapat mengatasi keterbatasan, masalah dan kendala yang terjadi pada model/ pendekatan yang digunakan sebelumnya.
Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) mengatur bahwa “Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Seluruh satuan pendidikan, baik formal maupun non formal harus mencapai atau melampaui SNP tersebut. Ruang lingkup SNP ini meliputi 8 standar yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Untuk mencapai pendidikan nasional yang bermutu maka dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses pendidikan harus berlandaskan kepada 8 SNP ini.
Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2019) menguraikan 8 Standar Nasional
Pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui sejumlah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) seperti yang
tercantum pada laman resmi BSNP, bsnp-indonesia.org.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI)
Pendidikan nasional yang bermutu tidak akan dapat terwujud tanpa adanya upaya perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk mewujudkan pendidikan bermutu ini, maka penerapan sistem penjaminan mutu pendidikan menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar, baik di tingkat pusat, daerah, maupun di tingkat satuan pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan harus mengimplemetasikan penjaminan mutu pendidikan tersebut secara sistemik, holistik, dan berkelanjutan, sehingga budaya mutu tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Sistem
Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 28 Tahun 2018 (Permendikbud
28/2016). Menurut permendikbud 28/2016 ini “Penjaminan Mutu Pendidikan adalah
suatu mekanisme yang sistematis, terintegrasi, dan berkelanjutan untuk
memastikan bahwa seluruh proses penyelenggaraan pendidikan telah sesuai dengan
standar mutu. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah adalah suatu
kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses terpadu yang
mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah
yang saling berinteraksi secara sistematis, terencana dan berkelanjutan.”
Danny
Meirawan (2010) menuliskan beberapa praktek penjaminan mutu yang berlangsung di
negara Australia dan Hong Kong. New South Wales Department of School Education,
Australia, menerapkan Quality Assurance
School Review yang digunakan untuk menjamin pelaksanaan perbaikan segala
aspek di satuan pendidikan. Sedangkan di Hong Kong diterapkan penjaminan mutu
sekolah yang dikenal dengan nama School
Education Quality Assurance Framework. Pelaksanaannya sistem penjaminan
mutu ini terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu penilaian yang dilakukan
melalui evaluasi diri sekolah (school self evaluation) dan inspeksi penjaminan
mutu (QA inspection).
Permendikbud
28/2016 membagi sistem penjaminan mutu ke dalam 2 (dua) bagian yaitu Sisem
Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME).
SPMI adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas kebijakan dan proses yang
terkait untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilaksanakan oleh
setiap satuan pendidikan dasar dan satuan pendidikan menengah untuk menjamin
terwujudnya pendidikan bermutu yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional
Pendidikan. Sedangkan, SPME adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas
organisasi, kebijakan, dan proses yang terkait untuk melakukan fasilitasi dan
penilaian melalui akreditasi untuk menentukan kelayakan dan tingkat pencapaian
mutu satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
SPMI
dilaksanakan oleh satuan pendidikan. Sedangkan SPME dilaksanakan oleh institusi
yang berada di luar satuan pendidikan seperti pemerintah/pemerintah daerah dan
badan/lembaga standarisasi. Sistem penjaminan mutu pendidikan dapat digambarkan
seperti dalam Gambar 1 berikut ini:

Gambar 1.
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Model Pelatihan Bertingkat / Cascade Learning Model
Model Pelatihan Bertingkat hampir selalu menjadi pilihan pemerintah dalam mensosisalisasikan atau melatihkan suatu aturan atau kebijakan baru. Menurut Dove dalam Takako Suzuki (2008, 31) bahwa hampir semua pelatihan yang dilaksanakan menggunakan cascade model (model bertingkat). Model bertingkat yang dimaksud dalam melaksanakan pelatihan kepada guru maka pelatihan dimulai dari para ahli kepada beberapa orang saja, kemudian beberapa orang tersebut melatih beberapa orang lagi secara bertingkat/berlevel seperti pada sebuah piramida sampai kepada para para guru.
Di Indonesia, pelatihan bertingkat
ini biasanya dimulai dari Narasumber Nasional melatih beberapa orang instruktur
nasional. Instruktur Nasional melatih Instruktur Provinsi, dan seterusnya
sampai kepada Guru Sasaran di tingkat satuan pendidikan. Mode pelatihan ini
dapat menghemat waktu dan biaya dibandingkan dengan narasumber melatih secara
langsung kepada guru sasaran di satuan pendidikan. Takako SUZUKI (2008)
mengemukakan bahwa pelatihan bertingkat berjalan efektif dan menggunakan biaya
yang murah.
Disamping kelebihan, tentu model
pelatihan ini juga memiliki kekurangan. Takako SUZUKI (2008) menjelaskan 3
(tiga) kekurangan dari model bertingkat ini yaitu pertama kemungkinan
terjadinya distorsi informasi, kedua jauhnya sasaran utama pelatihan dengan
sumber utama informasi sehingga untuk mengkonfirmasi suatu informasi oleh
peserta sasaran utama ke sumber utama sulit dilakukan, ketiga adalah
perpindahan informasi terjadi satu arah dimana informasi bersifat top-down sehingga pelaksanaannya seringkali
tidak mempertimbangkan kondisi guru sasaran di tingkat terbawa.
Thanassis
Karalis (2016) memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan
model ini, beberapa diataranya adalah sebagai berikut:
- Model pelatihan bertingkat biasanya digunakan pada pelatihan dengan jumlah sasaran utama sangat besar. Model ini biasanya diterapkan pada kasus sosialisasi atau pelatihan terhadap kebijakan yang berdampak besar di masyarakat, misalnya dalam bidang pendidikan adanya reformasi pendidikan, perubahan kurikulum, dan lain-lain.
- Pada beberapa kasus, di level paling atas misalnya narasumber, dipilih sasaran dengan kualifikasi yang relatif lebih tinggi dan kompetensi yang baik. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat menerima materi pelatihan dengan baik dalam waktu singkat dan dapat melakukan pembelajaran secara mandiri.
- Untuk menghindari distorsi informasi, maka evaluasi pelaksanaan harus dilakukan secara ketat di setiap tingkat pelatihan.
- Model pelatihan bertingkat ini dapat dikombinasikan dengan model lainnya misalnya pelatihan jarak jauh dengan menggunakan modul maupun e-learning dengan synchronous mapun asynchronous.
Model Blended Learning
Blended learning adalah penggabungan beberapa motode
belajar mengajar, misalnya antara web dan konvensional, atau virtual dan fisik
(Rusman; dkk, 2015). Lebih lanjut dijelaskan bahwa umumnya, blendel leaning hanya dikenal sebagai
penggabungan antara pembelajaran daring dan luring, padahal lebih luas dari
itu.
Dalam penelitian ini, blended
learning yang dimaksud adalah penggabungan antara pembelajaran daring berbentuk
e-learning dan luring berbentuk
pembelajaran bertingkat (cascade model).
“Selain Blended Learning ada istilah
lain yang sering digunakan di antaranya Blended e-Learning dan hybrid learning.
Istilah yang disebutkan tadi mengandung arti yang sama yaitu perpaduan,
percampuran atau kombinasi pembelajaran” (lpmpjogja.kemdikbud.go.id, 2015).
Blended e-learning saat ini banyak
digunakan oleh penyelengara pendidikan terbuka dan jarak jauh. Dulunya hanya
Univesitas Terbuka yang mendapat iizinkan untuk menyelenggarakan pendidikan
terbuka dan jarak jauh, maka pada Tanggal 2 Juli 2001, Menteri Pendidikan
Nasional mengeluarkan Surat Keputusan No 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi Jarak Jauh, maka perguruan tinggi yang memiliki kapasitas
baik sarana maupun SDM untuk melaksanaan pembejaran Blended E-Learning ini juga diizinkan untuk menyelenggarakannya.
(Rusman; dkk, 2015).
I Ketut Widiara, 2018 menyatakan “berbagai
penelitian juga menunjukkan bahwa
blended learning lebih
efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional dengan
sistem tatap muka maupun
dengan sistem elearning
atau pembelajaran online. Tingkat
efektifitas tersebut
ditunjang dengan kelebihan
yang dimiliki oleh pembelajaran
dengan sistem pembauran (blended
learning)”
Waktu dan Tempat Penelitian
Subyek Penelitian
Pengumpulan Data
Data kuantitatif diperoleh
melalui survei online menggunakan kuisioner yang disebarkan secara terbuka melalui
media sosial whatsapp PTK satuan pendidikan yang memiliki akses internet khusus
media sosial whatsapp dan google form. Sedangkan untuk pengumpulan data
kualitatif, dilakukan wawancara secara terbatas kepada 20 orang PTK yang
dipilih untuk menggali informasi lebih lengkap terkait dengan kendala dan
permasalahan dalam memahami dan mengikuti kegiatan sosialisasi, bimbingan
teknis, atau pendampingan SPMI. Metode wawancara sering digunakan untuk
menggali data atau informasi yang lebih rinci dan lebih lengkap dari responden
(Benny A. Pribadi, 2016).
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dimulai dengan
mengecek kelengkapan isian terhadap setiap nomor pernyataan atau pernyataan, melakukan
pengelompokan data menggunakan pivot pada
aplikasi pengolah data Microsoft Excel, pengelompokan data secara manual dengan
menggunakan pengkodean untuk pernyataan yang menyediakan jawaban lainnya
(terbuka), melakukan pengecekan konsistensi jawaban antar item
pertanyaan/pernyataan, dan terakhir melakukan rekapitulasi akhir data.
Hasil dan Pembahasan
Pelatihan/bimtek SPMI yang diikuti
Tabel 1. Bentuk Kegiatan yang pernah diikuti dalam upaya memahami SPMI
No |
Bentuk Kegiatan yang pernah diikuti dalam upaya
memahami SPMI |
Jumlah |
Persentase (%) |
1 |
Sosialisasi |
2.195 |
47.4% |
2 |
Pelatihan/Bimtek |
911 |
19.7% |
3 |
Pendampingan |
667 |
14.4% |
4 |
Workshop |
650 |
14.0% |
5 |
Belum pernah |
191 |
4.1% |
6 |
Lainnya |
18 |
0.4% |
Tabel 2. Narasumber pada kegiatan yang pernah diikuti
No |
Narasumber pada kegiatan yang pernah diikuti |
Jumlah |
Persentase (%) |
1 |
Fasilitator Kab/kota /Pengawas |
2.094 |
53.4% |
2 |
Fasilitator Provinsi (LPMP) |
721 |
18.4% |
3 |
Fasilitaror Internal Sekolah |
656 |
16.7% |
4 |
Fasilitator
Sekolah Model/Rujukan |
355 |
9.0% |
5 |
Fasilitator Nasional |
98 |
2.5% |
Berdasarkan Tabel 2 di atas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan bahwa narasumber kegiatan SPMIyang berasal dari Fasilitator Kabupaten pada kegiatan SPMI yang diikuti adalah 53.4% responden. Fasilitator Kab/kota atau pengawas merupakan narasumber yang paling banyak memfasilitasi kegiatan SPMI di satuan pendidikan. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa Fasilitator yang berasal dari provinsi (LPMP) dan Fasilitator Nasional (Kemdikbud) masing-masing sebesar 18.4?n 2.5%. Sedangkan responden yang menyatakan kegiatan SPMI yang difasilitasi oleh Fasilitator Internal sekolah dan sekolah lain dalam bentuk pengimbasan sekolah model/rujukan adalah 16.7?n 9.0%.
Tabel 3. Tingkat pemahaman narasumber terhadap materi yg disampaikan
No |
Tingkat pemahaman narasumber terhadap materi yg
disampaikan |
Jumlah |
Persentase (%) |
1 |
Paham |
1.944 |
69.6% |
2 |
Kurang Paham |
619 |
22.2% |
3 |
Sangat paham |
208 |
7.4% |
4 |
Tidak paham |
23 |
0.8% |
Berdasarkan Tabel 3 di atas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan bahwa narasumber kegiatan SPMI sangat paham atau paham terhadap materi yang disampaikan yaitu masing-masing 69.6?n 7.4% responden.
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa responden yang menyatakan bahwa tingkat pemahaman narasumber masih kurang paham dan tidak paham adalah masing-masing 22.2?n 0.8%.
Tabel 4. Model/metode yang digunakan dalam kegiatan SPMI
No |
Model/metode yang digunakan dalam kegiatan SPMI |
Jumlah |
Persentase (%) |
1 |
Ceramah |
1.990 |
40.4% |
2 |
Diskusi |
1.582 |
32.1% |
3 |
Praktek/Simulasi |
829 |
16.8% |
4 |
Portal |
368 |
7.5% |
5 |
Online |
149 |
3.0% |
6 |
Lainnya |
7 |
0.1% |
Berdasarkan Tabel 4 di atas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan bahwa metode ceramah digunakan dalam pelaksanaan kegiatan SPMI adalah 40.4%. Metode/model ceramah paling banyak digunakan dalam melakuan fasilitasi pelaksanaan kegiatan SPMI. Responden yang menyatakaan penggunaan metode diskusi adalah sebesar 32.1%. Sedangkan responden yang menyatakan penggunaan metode praktek/simulasi sebesar 7.5%.Tabel 4 juga menyatakan bahwa penggunaan model/metode fasilitasi SPMI secara online yaitu melalui portal PMP dan Online melaui konferensi video masing-masing sebesar 7.5?n 3.0%.
Tabel 5. Efektivitas kegiatan dalam meningkatkan pemahaman SPMI
No |
Efektivitas kegiatan dalam meningkatkan pemahaman
SPMI |
Jumlah |
Persentase (%) |
1 |
Efektif |
1.788 |
64.0% |
2 |
Kurang efektif |
828 |
29.6% |
3 |
Sangat efektif |
122 |
4.4% |
4 |
Tidak efektif |
54 |
1.9% |
5 |
Lainnya |
2 |
0.1% |
Berdasarkan Tabel 5 dii atas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan bahwa kegiatan yang diikuti efektif dan sangat efektif adalah 64.0%. Sedangkan yang menyatakan sangat eektif adalah 4.4% responden. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa responden yang menyatakan kurang atau tidak efektif adalah sebanyak 31.5% responden.
Hasil pelatihan/bimtek yang diikuti dalam
meningkatkan pemahaman dan kemampuan
Tabel 6. Tingkat pemahaman terhadap SPMI
No |
Tingkat pemahaman terhadap SPMI |
Jumlah |
Persentase (%) |
Paham |
1.764 |
63.1% |
|
Kurang paham |
910 |
32.6% |
|
Sangat paham |
96 |
3.4% |
|
Tidak paham |
24 |
0.9% |
Berdasarkan
Tabel 6 di atas diperoleh gambaran bahwa reponden yang menyatakan paham
terhadap kegiatan SPMI setelah mengikuti berbagai bentuk fasilitasi adalah
63.1%. Sedangkan yang menyatakan sangat paham adalah sebesar 3.4%.
Tabel
6 juga menunjukkan bahwa masih terdapat responden yang menyatakan kurang paham
dan tidak paham masing-masing sebesar 32.6?n 0.9%
Tabel 7. Tahapan SPMI yang dipahami
No |
Tahapan SPMI yang dipahami |
Jumlah |
Persentase (%) |
1 |
Pemetaan mutu |
1.858 |
35.8% |
2 |
Penyusunan rencana pemenuhan |
1.259 |
24.2% |
3 |
Pelaksanaan rencana pemenuhan |
1.007 |
19.4% |
4 |
Penetapan standar baru |
423 |
8.1% |
5 |
Monitoring dan evaluasi |
234 |
4.5% |
6 |
Lainnya |
414 |
8.0% |
Berdasarkan
Tabel 7 diatas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan paham
terhadap SPMI tahap pemetaan mutu adalah 35.8% responden, tahap penyusunan
rencana pemenuhan 24.2%, pelaksanaan rencana pemenuhan 19.4%. Sedangkan untuk
penetapan standar baru dan monitoring/evaluasi masing-masing sebesar 4.5?n
8.1%.
Tabel
7 juga menunjukkan bahwa masih terdapat 8.0% responden yang masih terbatas memahami
secara umum tentang SPMI, namun belum memahami tahapan dalam pelaksanaan SPMI
di satuan pendidikan.
Untuk
melengkapi informasi yang diperoleh dari 7 pertanyaan/pernyataan di atas,
peneliti juga melakukan wawancara dengan 2 (dua) item pertanyaan terbuka kepada
sejumlah responden yang dipilih dari responden yaitu terkait dengan
permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan dalam upaya memahami SPMI dan usulan
bentuk kegiatan yang dapat diikuti dengan baik dan tidak terkendala dengan
permasalahan yang selama ini dihadapi.
Berdasarkan
hasil analisis jawaban responden terhadap pertanyaan/pernyataan terkait dengan
kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya memahami dan mengikuti
kegiatan pelatihan / bimtek SPMI yang melibatkan sekolah tempat mereka bertugas,
diperoleh 5 (lima) kelompok jawaban. Kendala atau permasalahan menurut
responden adalah kegiatan sosialisasi/pelatihan/pendampingan masih sangat
kurang, metode/model yang digunakan, waktu/tempat pelaksanaan, kompetensi SDM,
dan Lainnya (aplikasi, sarana, anggaran).
Hasil
penelitian ini didukung oleh hasil wawancara terhadap responden yang
menjelaskan kendala dan permasalahan yang dihadapi. Berikut ini beberapa
petikan wawancara dengan responden:
Bimtek ataupun pelatihan terkait SPMI sangat
kurang, kalaupun ada hanya orang tertentu saja yang terlibat (Responden AS, 40
tahun)
Pembahasan materi yang monoton, kurang praktek
(Responden AR, 55 tahun)
Jarak yang jauh dari sekolah tempat tugas ke
tempat pelaksanaan Sosialisasi SPMI dan waktu pelaksanaannya kurang (Responden
MH, 38 tahun)
Kesadaran PTK akan pentingnya SPMI di sekolah
yang masih rendah (Responden IW, 42 tahun)
Aplikasi yang mendukung pelaksanaan SPMI belum
optimal (Responden ID, 30 tahun)
Berdasarkan
hasil analisis jawaban responden terhadap pertanyaan/pernyataan terkait dengan
moda atau model sosialisasi/pelatihan/pendampingan yang diharapkan dapat
diikuti dengan baik dengan tidak terkendala sebagaimana dibahas pada item
pertanyaan/pernyataan sebelumnya, diperoleh 4 (empat) kelompok jawaban. Moda
atau model sosialisasi/pelatihan/pendampingan yang diharapkan adalah
metode/pendekatan yang digunakan dalam pelatihan, intensitas, model pelatihan
online, dan fleksibel dalam hal waktu pelaksanaan.
Hasil
penelitian ini didukung oleh hasil wawancara terhadap responden yang
menjelaskan tentang moda/model pelatihan yang diharapkan. Berikut ini beberapa
petikan wawancara dengan responden:
Pelatihan sebaiknya menggunakan model yang
beragam dan tidak monoton serta waktu yang lebih banyak yang diberikan kepada
peserta sosialisasi SPMI (Responden MT, 45 tahun)
Kegiatan pelatihan sebaiknya dirancang lebih
menarik dan waktunya yang lebih panjang (Responden NS, 53 tahun)
Agar lebih flexibel, pelatihannya dilengkapi
dengan Online dalam bentuk e-pembelajaran
(Resepden MN, 38 tahun)
Kegiatan pelatihan dilakukan diluar jam
pembelajaran sehingga tidak mengganggu PBM di sekolah. Pelatihan atau workshop
tentang kegiatan ini dilaksanakan pada tiap sekolah.
Berdasarkan
petikan wawancara tersebut, kegiatan yang diharapkan dapat diikuti dengan baik
dan efektif serta tidak mengganggu atau bertepatan dengan kegiatan proses
belajar mengajar di sekolah atau kegiatan lainnya, responden menyarankan bentuk
kegiatan yang dilakukan menggunkaan motode/model yang beragam sehingga tidak
monoton dan fleksibel dalam hal waktu dan tempat, misalnya dengan bentuk
online.
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Benny A. Pribadi. 2016. Desain dan
pengembangan program pelatihan berbasis kompetensi. Prenada Media Group. Jakarta.
bsnp-indonesia.org. 2019. Standar
Nasional Pendidikan. Diakses pada 20 November 2019
Presiden RI. 2005. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jakarta
Mendikbud RI. 2016. Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 Tentang Sistem
Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta
Dirjen Dikdasmen. 2017. Petunjuk Teknis (Juknis) Pengembangan Sekolah
Model dan Pola Pengimbasannya. Jakarta
lpmpjogja.kemdikbud.go.id. (2015). Implementasi
Blended Learning dalam Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Diakses
pada tanggal 20 Desember 2019. http://lpmpjogja.kemdikbud.go.id/implementasi-blended-learning-dalam-pembelajaran-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/
Takako SUZUKI. 2008. The Effectiveness of the Cascade Model for In-service Teacher Training in Nepal.
In The 6th International Conference on
Education and Information Systems, Technologies and Applications
Thanassis Karalis. 2016. Cascade Approach to Training: Theoretical
Issues and Practical Applications in Non - Formal Education. Journal of
Education & Social Policy Vol. 3, No. 2
Muhammad Aris. 2019. Implementasi
Pengimbasan SPMI Sekolah Model SMP A. Wahid Hasyim Tebuireng Jombang ke Sekolah
Imbas. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Sulaeman Ibrahim.
2018.
Pengaruh pelatihan dan pendampingan sistem penjaminan mutu internal (SPMI)
terhadap ketercapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP) sekolah model di Kota
Jakarta Selatan. Thesis. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Widiara, I K. (2018). Blended
Learning sebagai Alternatif Pembelajaran di Era Digital. Purwadita, vol. 2, no.
2, pp. 50-56
Penulis: Bahtiar (PTP Ahli Muda LPMP Prov. Sulawesi Selatan)