Artikel

Analisis Kebutuhan Pengembangan Model Blended Learning pada Bimbingan Teknis Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di LPMP Provinsi Sulawesi Selatan

Pendahuluan

Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 menegaskan bahwa setiap satuan pendidikan formal maupun non formal wajib melakukan penjaminan mutu. Secara rinci, penjaminan mutu di jenjang pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) diatur dalam Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. Sistem ini berfungsi untuk mengendalikan proses penyelenggaraan pendidikan oleh satuan pendidikan agar sesuai ketentuan standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Sistem penjaminan mutu yang dilaksanakan di internal satuan pendidikan disebut Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).


Keberhasilan pelaksanaan SPMI di satuan pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat pemahaman dan komitmen TPMPS. Pemahaman dan komitmen TPMPS tersebut harus ditunjang dengan pembekalan/pelatihan dan pendampingan yang baik. Sulaeman Ibrahim (2018) mengatakan bahwa pelatihan dan pendampingan SPMI secara signifikan mempengaruhi pencapaian SNP di satuan pendidikan, sedangkan untuk meningkatkan capaian SNP tersebut maka satuan pendidikan harus menerapkan SPMI secara konsisten dan didukung oleh kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan tersebut.


Muhammad Aris (2019) menjelaskan beberapa faktor penunjang keberhasilan dalam melaksanakan SPMI yaitu pemberian pendidikan dan pelatihan bagi warga sekolah khususnya TPMPS dalam memahamahi konsep dan teknik pelaksanaan SPMI. Faktor penunjang lainnya adalah komunikasi yang baik di internal sekolah maupun terhadap eksternal seperti komite sekolah, pengawas sekolah, dinas pendidikan, LPMP, dan masyarakat. Sedangkan salah satu faktor penghambat pelaksanaan SPMI menurut Muhammad Aris (2019) adalah kurangnya pendampingan dan koordinasi sehingga hal tersebut menimbulkan masalah ketika dalam melakukan SPMI menemui kesulitan.


Tingkat pemahaman TPMPS sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan kemampuan fasilitator maupun pengawas dalam melakukan sosialisasi dan pelatihan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Takako SUZUKI (2008) bahwa kelemahan utama dari model pelatihan bertingkat ini adalah kemungkinan terjadinya distorsi informasi dalam pelaksanaan pelatihan. Kesalahan atau kekurangan informasi pada salah satu tingkat pelatihan, maka akan berdampak signifikan terhadap pelatihan tingkat setelahnya.


Petunjuk Teknis SPMI (Dirjen Dikdasmen, 2017) menjadi rujukan utama dalam melakukan sosialisasi dan pelatihan SPMI yang dilakukan secara bertingkat mulai dari tingkat nasional sampai kepada tingkat satuan pendidikan. Pelatihan dimulai dengan kegiatan pelatihan kepada Fasilitator Nasional (Fasnas) oleh Tim Satuan Tugas (Satgas) Penjaminan Mutu Pendidikan (PMP) Ditjen Dikdasmen. Fasnas terdiri dari 4 orang yang berasal pejabat struktural dan widyaiswara di setiap LPMP. Tahapan pelatihan berikutnya, Fasnas melatih Fasilitator Daerah (Fasda) yang terdiri atas 4 orang pengawas satuan pendidikan dari setiap kabupaten/kota dan provinsi. Pelatihan berikutnya dilakukan oleh Fasda kepada TPMPS dari satuan pendidikan yang menjadi sekolah model percontohan penerapan SPMI yang ditunjuk dan dipilih oleh Dinas Pendidikan kab/kota/provinsi masing-masing. Tahapan proses pelatihan berikutnya adalah pelatihan kepada TPMPS non sekolah model oleh TPMPS sekolah model dalam bentuk pengimbasan (Dirjen Dikdasmen, 2017).


Besarnya jumlah satuan pendidikan dan PTK di Sulawesi Selatan menjadi salah satu tantangan dalam melaksanakan program SPMI ini. Demikian juga dengan kompetensi SDM yang terlibat dalam menyebarluaskan dan melakukan fasilitasi pelaksanaan SPMI ini, mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Oleh karena itu, melihat pentingnya masalah ini dan besarnya tantangan dalam melaksanakannya, peneliti melakukan kajian terhadap pelaksanaan fasilitasi sosialisasi dan pelatihan SPMI serta tingkat pemahaman PTK di satuan pendidikan sebagai pelaksana SPMI.


Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penetian ini adalah bagaimana bentuk dan efektifitas dari pelatihan ber tingkat yang telah dilaksanakan dalam sosialisasi dan pelatihan SPMI, tingkat pemahaman sasaran pelatihan setelah mengikuti pelatihan, permasalahan serta kendala dalam yang dihadapi dalam mengikuti pelatihan, dan bagaimana rekomendasi model pelatihan yang dapat mengantisipasi masalah dan kendala yang muncul pada pendekatan yang digunakan sebelumnya.


Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan efektifitas dari pelatihan bertingkat yang telah dilaksanakan dalam sosialisasi dan pelatihan SPMI, tingkat pemahaman sasaran pelatihan setelah mengikuti pelatihan, permasalahan serta kendala dalam yang dihadapi dalam mengikuti pelatihan, dan untuk menghasilkan rekomendasi model pelatihan yang dapat mengatasi keterbatasan, masalah dan kendala yang terjadi pada model/ pendekatan yang digunakan sebelumnya.

 

Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) mengatur bahwa “Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Seluruh satuan pendidikan, baik formal maupun non formal harus mencapai atau melampaui SNP tersebut. Ruang lingkup SNP ini meliputi 8 standar yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Untuk mencapai pendidikan nasional yang bermutu maka dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses pendidikan harus berlandaskan kepada 8 SNP ini.


Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2019) menguraikan 8 Standar Nasional Pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui sejumlah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) seperti yang tercantum pada laman resmi BSNP, bsnp-indonesia.org.


Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI)

Pendidikan nasional yang bermutu tidak akan dapat terwujud tanpa adanya upaya perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk mewujudkan pendidikan bermutu ini, maka penerapan sistem penjaminan mutu pendidikan menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar, baik di tingkat pusat, daerah, maupun di tingkat satuan pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan harus mengimplemetasikan penjaminan mutu pendidikan tersebut secara sistemik, holistik, dan berkelanjutan, sehingga budaya mutu tumbuh dan berkembang secara mandiri.


Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 28 Tahun 2018 (Permendikbud 28/2016). Menurut permendikbud 28/2016 ini “Penjaminan Mutu Pendidikan adalah suatu mekanisme yang sistematis, terintegrasi, dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa seluruh proses penyelenggaraan pendidikan telah sesuai dengan standar mutu. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses terpadu yang mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang saling berinteraksi secara sistematis, terencana dan berkelanjutan.”


Danny Meirawan (2010) menuliskan beberapa praktek penjaminan mutu yang berlangsung di negara Australia dan Hong Kong. New South Wales Department of School Education, Australia, menerapkan Quality Assurance School Review yang digunakan untuk menjamin pelaksanaan perbaikan segala aspek di satuan pendidikan. Sedangkan di Hong Kong diterapkan penjaminan mutu sekolah yang dikenal dengan nama School Education Quality Assurance Framework. Pelaksanaannya sistem penjaminan mutu ini terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu penilaian yang dilakukan melalui evaluasi diri sekolah (school self evaluation) dan inspeksi penjaminan mutu (QA inspection).


Permendikbud 28/2016 membagi sistem penjaminan mutu ke dalam 2 (dua) bagian yaitu Sisem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). SPMI adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas kebijakan dan proses yang terkait untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dasar dan satuan pendidikan menengah untuk menjamin terwujudnya pendidikan bermutu yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan. Sedangkan, SPME adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses yang terkait untuk melakukan fasilitasi dan penilaian melalui akreditasi untuk menentukan kelayakan dan tingkat pencapaian mutu satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah.


SPMI dilaksanakan oleh satuan pendidikan. Sedangkan SPME dilaksanakan oleh institusi yang berada di luar satuan pendidikan seperti pemerintah/pemerintah daerah dan badan/lembaga standarisasi. Sistem penjaminan mutu pendidikan dapat digambarkan seperti dalam Gambar 1 berikut ini:



Gambar 1. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

Model Pelatihan Bertingkat / Cascade Learning Model

Model Pelatihan Bertingkat hampir selalu menjadi pilihan pemerintah dalam mensosisalisasikan atau melatihkan suatu aturan atau kebijakan baru. Menurut Dove dalam Takako Suzuki (2008, 31) bahwa hampir semua pelatihan yang dilaksanakan menggunakan cascade model (model bertingkat). Model bertingkat yang dimaksud dalam melaksanakan pelatihan kepada guru maka pelatihan dimulai dari para ahli kepada beberapa orang saja, kemudian beberapa orang tersebut melatih beberapa orang lagi secara bertingkat/berlevel seperti pada sebuah piramida sampai kepada para para guru.


Di Indonesia, pelatihan bertingkat ini biasanya dimulai dari Narasumber Nasional melatih beberapa orang instruktur nasional. Instruktur Nasional melatih Instruktur Provinsi, dan seterusnya sampai kepada Guru Sasaran di tingkat satuan pendidikan. Mode pelatihan ini dapat menghemat waktu dan biaya dibandingkan dengan narasumber melatih secara langsung kepada guru sasaran di satuan pendidikan. Takako SUZUKI (2008) mengemukakan bahwa pelatihan bertingkat berjalan efektif dan menggunakan biaya yang murah.


Disamping kelebihan, tentu model pelatihan ini juga memiliki kekurangan. Takako SUZUKI (2008) menjelaskan 3 (tiga) kekurangan dari model bertingkat ini yaitu pertama kemungkinan terjadinya distorsi informasi, kedua jauhnya sasaran utama pelatihan dengan sumber utama informasi sehingga untuk mengkonfirmasi suatu informasi oleh peserta sasaran utama ke sumber utama sulit dilakukan, ketiga adalah perpindahan informasi terjadi satu arah dimana informasi bersifat top-down sehingga pelaksanaannya seringkali tidak mempertimbangkan kondisi guru sasaran di tingkat terbawa.


Thanassis Karalis (2016) memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan model ini, beberapa diataranya adalah sebagai berikut:

  1. Model pelatihan bertingkat biasanya digunakan pada pelatihan dengan jumlah sasaran utama sangat besar. Model ini biasanya diterapkan pada kasus sosialisasi atau pelatihan terhadap kebijakan yang berdampak besar di masyarakat, misalnya dalam bidang pendidikan adanya reformasi pendidikan, perubahan kurikulum, dan lain-lain.
  2. Pada beberapa kasus, di level paling atas misalnya narasumber, dipilih sasaran dengan kualifikasi yang relatif lebih tinggi dan kompetensi yang baik. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat menerima materi pelatihan dengan baik dalam waktu singkat dan dapat melakukan pembelajaran secara mandiri.
  3. Untuk menghindari distorsi informasi, maka evaluasi pelaksanaan harus dilakukan secara ketat di setiap tingkat pelatihan.
  4. Model pelatihan bertingkat ini dapat dikombinasikan dengan model lainnya misalnya pelatihan jarak jauh dengan menggunakan modul maupun e-learning dengan synchronous mapun asynchronous.

Model Blended Learning

Blended learning adalah penggabungan beberapa motode belajar mengajar, misalnya antara web dan konvensional, atau virtual dan fisik (Rusman; dkk, 2015). Lebih lanjut dijelaskan bahwa umumnya, blendel leaning hanya dikenal sebagai penggabungan antara pembelajaran daring dan luring, padahal lebih luas dari itu.
Dalam penelitian ini, blended learning yang dimaksud adalah penggabungan antara pembelajaran daring berbentuk e-learning dan luring berbentuk pembelajaran bertingkat (cascade model).
“Selain Blended Learning ada istilah lain yang sering digunakan di antaranya Blended e-Learning dan hybrid learning. Istilah yang disebutkan tadi mengandung arti yang sama yaitu perpaduan, percampuran atau kombinasi pembelajaran” (lpmpjogja.kemdikbud.go.id, 2015).
Blended e-learning saat ini banyak digunakan oleh penyelengara pendidikan terbuka dan jarak jauh. Dulunya hanya Univesitas Terbuka yang mendapat iizinkan untuk menyelenggarakan pendidikan terbuka dan jarak jauh, maka pada Tanggal 2 Juli 2001, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Surat Keputusan No 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Jarak Jauh, maka perguruan tinggi yang memiliki kapasitas baik sarana maupun SDM untuk melaksanaan pembejaran Blended E-Learning ini juga diizinkan untuk menyelenggarakannya. (Rusman; dkk, 2015).
I Ketut Widiara, 2018 menyatakan “berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa  blended  learning  lebih  efektif dibandingkan  dengan  pembelajaran konvensional  dengan  sistem  tatap  muka maupun  dengan  sistem  e­learning  atau pembelajaran  online.  Tingkat  efektifitas tersebut  ditunjang  dengan  kelebihan  yang dimiliki  oleh  pembelajaran  dengan  sistem pembauran (blended learning)”


Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November s.d. November 2019 di Provinsi Sulawesi Selatan.

Subyek Penelitian

Subyek dari penelitian ini adalah Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) di Satuan Pendidikan Jenjang SMP di Seluruh Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dengan mengambil sampel secara acak melalui penyebaran instrumen melalui Media Sosial Whatsapp. Penyebaran instrumen dilakukan melalui pesan whatsapp pribadi dan melalui group. PTK yang mengisi instrumen berjumlah 3.027 orang.

Pengumpulan Data

Data kuantitatif diperoleh melalui survei online menggunakan kuisioner yang disebarkan secara terbuka melalui media sosial whatsapp PTK satuan pendidikan yang memiliki akses internet khusus media sosial whatsapp dan google form. Sedangkan untuk pengumpulan data kualitatif, dilakukan wawancara secara terbatas kepada 20 orang PTK yang dipilih untuk menggali informasi lebih lengkap terkait dengan kendala dan permasalahan dalam memahami dan mengikuti kegiatan sosialisasi, bimbingan teknis, atau pendampingan SPMI. Metode wawancara sering digunakan untuk menggali data atau informasi yang lebih rinci dan lebih lengkap dari responden (Benny A. Pribadi, 2016).

Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dimulai dengan mengecek kelengkapan isian terhadap setiap nomor pernyataan atau pernyataan, melakukan pengelompokan data menggunakan pivot pada aplikasi pengolah data Microsoft Excel, pengelompokan data secara manual dengan menggunakan pengkodean untuk pernyataan yang menyediakan jawaban lainnya (terbuka), melakukan pengecekan konsistensi jawaban antar item pertanyaan/pernyataan, dan terakhir melakukan rekapitulasi akhir data.

Analisis data terhadap data kuantitatif dilakukan menggunakan analisis deskriptif. Sedangkan untuk data kualitatif dilakukan dengan membaca tanggapan responden dan memberikan tanggapan balik untuk menggali informasi lebih jauh terkait dengan item pertanyaan/pernyataan yang diajukan.

 

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini fokus kepada 2 topik utama yaitu terkait dengan pelaksanaan pelatihan/bimtek SPMI yang pernah diikuti dan hasil pelatihan/bimtek yang diikuti dalam meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam melaksanakan SPMI di satuan pendidikan mereka bertugas.

Pelatihan/bimtek SPMI yang diikuti

Deskripsi tentang tanggapan responden terhadap pelaksanaan pelatihan/bimtek yang pernah diikuti diperoleh dari 5 (lima) pertanyaan/pernyataan sebagaimana yang termuat dalam kuesioner penelitian.

Tabel 1. Bentuk Kegiatan yang pernah diikuti dalam upaya memahami SPMI

No

Bentuk Kegiatan yang pernah diikuti dalam upaya memahami SPMI

Jumlah

Persentase

(%)

1

Sosialisasi

2.195

47.4%

2

Pelatihan/Bimtek

911

19.7%

3

Pendampingan

667

14.4%

4

Workshop

650

14.0%

5

Belum pernah

191

4.1%

6

Lainnya

18

0.4%


Berdasarkan Tabel 1 di atas diperoleh gambaran bahwa bentuk kegiatan yang paling banyak diikuti oleh responden dalam upaya memahami SPMI adalah kegiatan sosialisasi yaitu sebesar 47.4%. Sedangkan untuk kegiatan yang berbentuk pelatihan/bimtek sebesar 19.7%.
Tabel 1 juga menunjukan bahwa kegiatan pendampingan dan workshop merupakan bentuk kegiatan yang diikuti oleh responden yaitu masing-masing sebesar 14.4?n 14.0%. Bentuk kegiatan lainnya yang diikuti responden mendapatkan informasi terkait SPMI yaitu sebesar 0.4% antara lain adalah melalui kegiatan MGMP, rapat, website, dan melalui media sosial.

Tabel 2. Narasumber pada kegiatan yang pernah diikuti

No

Narasumber pada kegiatan yang pernah diikuti

Jumlah

Persentase

(%)

1

Fasilitator Kab/kota /Pengawas

2.094

53.4%

2

Fasilitator Provinsi (LPMP)

721

18.4%

3

Fasilitaror Internal Sekolah

656

16.7%

4

Fasilitator Sekolah Model/Rujukan

355

9.0%

5

Fasilitator Nasional

98

2.5%

Berdasarkan Tabel 2 di atas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan bahwa narasumber kegiatan SPMIyang berasal dari Fasilitator Kabupaten pada kegiatan SPMI yang diikuti adalah 53.4% responden. Fasilitator Kab/kota atau pengawas merupakan narasumber yang paling banyak memfasilitasi kegiatan SPMI di satuan pendidikan. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa Fasilitator yang berasal dari provinsi (LPMP) dan Fasilitator Nasional (Kemdikbud) masing-masing sebesar 18.4?n 2.5%. Sedangkan responden yang menyatakan kegiatan SPMI yang difasilitasi oleh Fasilitator Internal sekolah dan sekolah lain dalam bentuk pengimbasan sekolah model/rujukan adalah 16.7?n 9.0%.

 

Tabel 3. Tingkat pemahaman narasumber terhadap materi yg disampaikan

No

Tingkat pemahaman narasumber terhadap materi yg disampaikan

Jumlah

Persentase

(%)

1

Paham

1.944

69.6%

2

Kurang Paham

619

22.2%

3

Sangat paham

208

7.4%

4

Tidak paham

23

0.8%


Berdasarkan Tabel 3 di atas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan bahwa narasumber kegiatan SPMI sangat paham atau paham terhadap materi yang disampaikan yaitu masing-masing 69.6?n 7.4% responden.

Tabel 3 juga menunjukkan bahwa responden yang menyatakan bahwa tingkat pemahaman narasumber masih kurang paham dan tidak paham adalah masing-masing 22.2?n 0.8%.

Tabel 4. Model/metode yang digunakan dalam kegiatan SPMI

No

Model/metode yang digunakan dalam kegiatan SPMI

Jumlah

Persentase

(%)

1

Ceramah

1.990

40.4%

2

Diskusi

1.582

32.1%

3

Praktek/Simulasi

829

16.8%

4

Portal

368

7.5%

5

Online

149

3.0%

6

Lainnya

7

0.1%


Berdasarkan Tabel 4 di atas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan bahwa metode ceramah digunakan dalam pelaksanaan kegiatan SPMI adalah 40.4%. Metode/model ceramah paling banyak digunakan dalam melakuan fasilitasi pelaksanaan kegiatan SPMI. Responden yang menyatakaan penggunaan metode diskusi adalah sebesar 32.1%. Sedangkan responden yang menyatakan penggunaan metode praktek/simulasi sebesar 7.5%.Tabel 4 juga menyatakan bahwa penggunaan model/metode fasilitasi SPMI secara online yaitu melalui portal PMP dan Online melaui konferensi video masing-masing sebesar 7.5?n 3.0%.

Tabel 5. Efektivitas kegiatan dalam meningkatkan pemahaman SPMI

No

Efektivitas kegiatan dalam meningkatkan pemahaman SPMI

Jumlah

Persentase

(%)

1

Efektif

1.788

64.0%

2

Kurang efektif

828

29.6%

3

Sangat efektif

122

4.4%

4

Tidak efektif

54

1.9%

5

Lainnya

2

0.1%


Berdasarkan Tabel 5 dii atas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan bahwa kegiatan yang diikuti efektif dan sangat efektif adalah 64.0%. Sedangkan yang menyatakan sangat eektif adalah 4.4% responden. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa responden yang menyatakan kurang atau tidak efektif adalah sebanyak 31.5% responden.


Hasil pelatihan/bimtek yang diikuti dalam meningkatkan pemahaman dan kemampuan

Deskripsi tentang tanggapan responden terhadap hasil pelatihan/bimtek yang diikuti dalam meningkatkan pemahaman dan kemampuan responden terhadap kegiatan SPMI diperoleh dari 2 (dua) pertanyaan/pernyataan sebagaimana yang termuat dalam kuesioner penelitian.

Tabel 6. Tingkat pemahaman terhadap SPMI

No

Tingkat pemahaman terhadap SPMI

Jumlah

Persentase

(%)

Paham

1.764

63.1%

Kurang paham

910

32.6%

Sangat paham

96

3.4%

Tidak paham

24

0.9%

Berdasarkan Tabel 6 di atas diperoleh gambaran bahwa reponden yang menyatakan paham terhadap kegiatan SPMI setelah mengikuti berbagai bentuk fasilitasi adalah 63.1%. Sedangkan yang menyatakan sangat paham adalah sebesar 3.4%.
Tabel 6 juga menunjukkan bahwa masih terdapat responden yang menyatakan kurang paham dan tidak paham masing-masing sebesar 32.6?n 0.9%

Tabel 7. Tahapan SPMI yang dipahami

No

Tahapan SPMI yang dipahami

Jumlah

Persentase

(%)

1

Pemetaan mutu

1.858

35.8%

2

Penyusunan rencana pemenuhan

1.259

24.2%

3

Pelaksanaan rencana pemenuhan

1.007

19.4%

4

Penetapan standar baru

423

8.1%

5

Monitoring dan evaluasi

234

4.5%

6

Lainnya

414

8.0%

Berdasarkan Tabel 7 diatas diperoleh gambaran bahwa responden yang menyatakan paham terhadap SPMI tahap pemetaan mutu adalah 35.8% responden, tahap penyusunan rencana pemenuhan 24.2%, pelaksanaan rencana pemenuhan 19.4%. Sedangkan untuk penetapan standar baru dan monitoring/evaluasi masing-masing sebesar 4.5?n 8.1%.
Tabel 7 juga menunjukkan bahwa masih terdapat 8.0% responden yang masih terbatas memahami secara umum tentang SPMI, namun belum memahami tahapan dalam pelaksanaan SPMI di satuan pendidikan.
Untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari 7 pertanyaan/pernyataan di atas, peneliti juga melakukan wawancara dengan 2 (dua) item pertanyaan terbuka kepada sejumlah responden yang dipilih dari responden yaitu terkait dengan permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan dalam upaya memahami SPMI dan usulan bentuk kegiatan yang dapat diikuti dengan baik dan tidak terkendala dengan permasalahan yang selama ini dihadapi.
Berdasarkan hasil analisis jawaban responden terhadap pertanyaan/pernyataan terkait dengan kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya memahami dan mengikuti kegiatan pelatihan / bimtek SPMI yang melibatkan sekolah tempat mereka bertugas, diperoleh 5 (lima) kelompok jawaban. Kendala atau permasalahan menurut responden adalah kegiatan sosialisasi/pelatihan/pendampingan masih sangat kurang, metode/model yang digunakan, waktu/tempat pelaksanaan, kompetensi SDM, dan Lainnya (aplikasi, sarana, anggaran).
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil wawancara terhadap responden yang menjelaskan kendala dan permasalahan yang dihadapi. Berikut ini beberapa petikan wawancara dengan responden:

Bimtek ataupun pelatihan terkait SPMI sangat kurang, kalaupun ada hanya orang tertentu saja yang terlibat (Responden AS, 40 tahun)

Pembahasan materi yang monoton, kurang praktek (Responden AR, 55 tahun)

Jarak yang jauh dari sekolah tempat tugas ke tempat pelaksanaan Sosialisasi SPMI dan waktu pelaksanaannya kurang (Responden MH, 38 tahun)

Kesadaran PTK akan pentingnya SPMI di sekolah yang masih rendah (Responden IW, 42 tahun)

Aplikasi yang mendukung pelaksanaan SPMI belum optimal (Responden ID, 30 tahun)

Berdasarkan hasil analisis jawaban responden terhadap pertanyaan/pernyataan terkait dengan moda atau model sosialisasi/pelatihan/pendampingan yang diharapkan dapat diikuti dengan baik dengan tidak terkendala sebagaimana dibahas pada item pertanyaan/pernyataan sebelumnya, diperoleh 4 (empat) kelompok jawaban. Moda atau model sosialisasi/pelatihan/pendampingan yang diharapkan adalah metode/pendekatan yang digunakan dalam pelatihan, intensitas, model pelatihan online, dan fleksibel dalam hal waktu pelaksanaan.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil wawancara terhadap responden yang menjelaskan tentang moda/model pelatihan yang diharapkan. Berikut ini beberapa petikan wawancara dengan responden:

Pelatihan sebaiknya menggunakan model yang beragam dan tidak monoton serta waktu yang lebih banyak yang diberikan kepada peserta sosialisasi SPMI (Responden MT, 45 tahun)

Kegiatan pelatihan sebaiknya dirancang lebih menarik dan waktunya yang lebih panjang (Responden NS, 53 tahun)

Agar lebih flexibel, pelatihannya dilengkapi dengan Online dalam bentuk e-pembelajaran (Resepden MN, 38 tahun)

Kegiatan pelatihan dilakukan diluar jam pembelajaran sehingga tidak mengganggu PBM di sekolah. Pelatihan atau workshop tentang kegiatan ini dilaksanakan pada tiap sekolah.

Berdasarkan petikan wawancara tersebut, kegiatan yang diharapkan dapat diikuti dengan baik dan efektif serta tidak mengganggu atau bertepatan dengan kegiatan proses belajar mengajar di sekolah atau kegiatan lainnya, responden menyarankan bentuk kegiatan yang dilakukan menggunkaan motode/model yang beragam sehingga tidak monoton dan fleksibel dalam hal waktu dan tempat, misalnya dengan bentuk online.

 

Penutup

Upaya dalam memberikan pemahaman satuan pendidikan terkiat dengan pelaksanaan SPMI sebagian besar masih berbentuk sosialisasi (47.4%). Terkait dengan narasumber kegiatan, responden umumnya mendapatkan fasilitasi dari fasilitator kab/kota (pengawas) (53.4%). Hal ini sesuai dengan petunjuk teknis pelaksanaan SPMI bahwa yang melaksanakan fasilitasi secara langsung ke satuan pendidikan adalah pengawas sekolah dengan salah satu kegiatannya berbentuk supervisi mutu.
Metode yang digunakan dalam kegiatan fasilitasi adalah paling banyak ceramah (40.4%) dan diskusi (32.1%). Pendekatan ini dinilai efektif/sangat efektif (68.4%) oleh responden, namun masih ada 29.6% yang menyatakan kurang efektif dan 1.9% menyatakan tidak efektif. Sejumlah responden memberikan saran agar pendekatan yang digunakan lebih variatif, tidak menoton, dan lebih menarik, antara lain dengan mode simulasi atau praktek langsung.
Tingkat pemahaman responden setelah mengikuti kegiatan yang membahas tentang SPMI, responden umumnya menyatakan sangat paham atau paham (66.5%). Namun masih terdapat responden yang kurang paham atau tidak paham (33.5%).
Kendala atau permasalahan yang dialami dalam upaya mengikuti atau memahami SPMI adalah masih kurangnya kegiatan atau terbatasnya waktu pelaksanaan kegiatan sehingga pemahaman terkait dengan SPMI tidak begitu mendalam dan menyeluruh. Demikian juga dengan metode/pendekatan yang dilakukan yang umumnya ceramah. Responden umumnya hanya paham pada tahap pemetaan, penyusunan rencana pemenuhan, dan implementasi pemenuhan mutu. Pemahaman terkait monitoring dan evaluasi masih kurang. Demikian juga untuk penetapan standar baru untuk peningkatan mutu juga masih kurang. Kendala lainnya adalah terkait fleksibilitas waktu, yaitu kegiatan yang bertepatan dengan kegiatan belajar mengajar atau kegiatan lainnya di sekolah sehingga peserta tidak fokus dalam mengikuti kegiatan terkait SPMI.
Berdasarkan kondisi dan kendala yang dihadapi responden dalam memahami dan mengikuti kegiatan SPMI di atas, penulis merekomendasikan penerapan model pelatihan Blended Learning dalam memberikan fasilitasi kegiatan SPMI di satuan pendidikan. Model Blended learning dikembangkan dengan menggabungkan model bertingkat yang selama ini telah digunakan dan E-Learning baik synchronous maupun asynchronous sebagai penyempurnaan. E-Learning menawarkan fleksibiltas dalam segi waktu dan jarak. E-Learning juga dapat memberikan pemahaman lebih menyeluruh dan terstruktur sehingga peserta dapat memahami secara lengkap konsep dan pelaksanaan SPMI.

 

DAFTAR PUSTAKA

Benny A. Pribadi. 2016. Desain dan pengembangan program pelatihan berbasis kompetensi. Prenada Media Group. Jakarta.

bsnp-indonesia.org. 2019. Standar Nasional Pendidikan. Diakses pada 20 November 2019

Presiden RI. 2005. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang  Standar Nasional Pendidikan. Jakarta

Mendikbud RI. 2016. Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta

Dirjen Dikdasmen. 2017. Petunjuk Teknis (Juknis) Pengembangan Sekolah Model dan Pola Pengimbasannya. Jakarta

lpmpjogja.kemdikbud.go.id. (2015). Implementasi Blended Learning dalam Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Diakses pada tanggal 20 Desember 2019. http://lpmpjogja.kemdikbud.go.id/implementasi-blended-learning-dalam-pembelajaran-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/

Takako SUZUKI. 2008. The Effectiveness of the Cascade Model  for In-service Teacher Training in Nepal. In The 6th International Conference on Education and Information Systems, Technologies and Applications

Thanassis Karalis. 2016. Cascade Approach to Training: Theoretical Issues and Practical Applications in Non - Formal Education. Journal of Education & Social Policy Vol. 3, No. 2

Muhammad Aris. 2019. Implementasi Pengimbasan SPMI Sekolah Model SMP A. Wahid Hasyim Tebuireng Jombang ke Sekolah Imbas. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Sulaeman Ibrahim. 2018. Pengaruh pelatihan dan pendampingan sistem penjaminan mutu internal (SPMI) terhadap ketercapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP) sekolah model di Kota Jakarta Selatan. Thesis. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Widiara, I K. (2018). Blended Learning sebagai Alternatif Pembelajaran di Era Digital. Purwadita, vol. 2, no. 2, pp. 50-56


Penulis: Bahtiar (PTP Ahli Muda LPMP Prov. Sulawesi Selatan)